Dalam karyanya, Ourvertures sur l'Islam,
yang edisi bahasa inggrisnya berjudul Rethinking Islam (1994), semakin
terlihat bahwa Arkoun secara sadar mengkritik pendekatan kaum
"Militan" yang melakukan ideologisasi dan pemistikan terhadap paham
keislaman yang tumbuh dalam sejarah. Menurut Arkoun,
dengan mengutip pendapat Clifford Geertz, untuk memahami Islam, persoalan
historis dan semiotis-kebahasaan mestinya memperoleh perhatian lebih dahulu
sebelum kita memusatkan diri pada kajian teologis. Akibat kurangnya analisis
historis-sosiologis terhadap Islam, maka Al-Qur'an bisa kehilangan atau
terputus dari konteks relevansi historisnya, sehingga studi keislaman lalu
hadir dalam paket-paket produk Ulama abad tengah yang saling terpisah, dan
cenderung dianggap final.
Dalam studi keislaman , pendekatan hermeneutika historis belum
memperoleh pijakan metodologis yang kuat, meskipun sesungguhnya telah dirintis
terutama oleh Ibnu Khaldun. Arkaoun , sebagaimana tokoh-tokoh tradisi filsafat
continental yang menaruh
perhatian pada bidang kajian hermeneutika, berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika social. Tiga elemen pokok hermeneutika, pengarang, teks, dan pembaca, masing-masing memiliki dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya mestinya selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka, karena tanpa adanya wacana yang terbuka dan dinamis, sebuah tradisi akan kehilangan ruh. Dinamika dan kreativitas dalam memahami sebuah teks agama sangat diperlukan, lebih-lebih jika teks dan tradisi dating dari kurun waktu, kultur, dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya apa yang disebut pemahaman dan pengalaman agama sampai pada batas-batas tertentu merupakan refleksi dan penafsiran subjektif yang muncul dari proses dialog seseorang dengan dunia yang dihadapi, termasuk dunia tradisi dan teks keagamaan. Dengan kata lain, ketika seseorang membaca dan memahami sebuah teks, secara tidak langsung ia memproduksi ulang dan menafsirkan teks sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan subjektivitasnya. Oleh karenanya, sebuah teks yang sama, ketika dibaca ulang, bias melahirkan pemahaman yang baru.
perhatian pada bidang kajian hermeneutika, berpandangan bahwa sebuah tradisi akan mati, kering, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika social. Tiga elemen pokok hermeneutika, pengarang, teks, dan pembaca, masing-masing memiliki dunianya sendiri sehingga hubungan antara ketiganya mestinya selalu bersifat dinamis, dialogis, dan terbuka, karena tanpa adanya wacana yang terbuka dan dinamis, sebuah tradisi akan kehilangan ruh. Dinamika dan kreativitas dalam memahami sebuah teks agama sangat diperlukan, lebih-lebih jika teks dan tradisi dating dari kurun waktu, kultur, dan tempat yang berbeda. Sesungguhnya apa yang disebut pemahaman dan pengalaman agama sampai pada batas-batas tertentu merupakan refleksi dan penafsiran subjektif yang muncul dari proses dialog seseorang dengan dunia yang dihadapi, termasuk dunia tradisi dan teks keagamaan. Dengan kata lain, ketika seseorang membaca dan memahami sebuah teks, secara tidak langsung ia memproduksi ulang dan menafsirkan teks sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan subjektivitasnya. Oleh karenanya, sebuah teks yang sama, ketika dibaca ulang, bias melahirkan pemahaman yang baru.
Salah satu aspek pemikiran Arkoun yang sangat berharga adalah
usahanya memperkenalkan pendekatan hermeneutika sebagai sebuah metodologi
kritis. Dalam karya-karya Arkoun akan ditemukan wacana kritis dari tiga sumber
utama, yaitu visi Al-Qur’an, kitab-kitab Islam klasik, dan filsafat Barat
(Prancis) kontemporer yang sering dikategorikan sebagai pemikiran
pasca-modernisme. Menurut cara pandang Arkoun, data kehidupan generasi awal
Islam yang disajikan dalam buku-buku klasik semacam Kitab Al-Maghazi oleh
Muhammad al-Waqidi, Sirah Rasul Allah oleh Muhammad Ishaq (w. 768 M), Tarikh
ar-Rasul wa al-Muluk oleh Muhammad Jabir ath-Thabari (w. 923 M), ataupun
ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibn Sa’d (w. 845 M), akan memunculkan informasi dan
makna baru ketika didekati dengan cara pandang baru., terutama dengan
menggunakan metode Hermeneutika Historis. Karena setiap Pengarang, teks, dan
Pembaca tidak bias lepas dari konteks social, politik, psikologis, teologis,
dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam memahami sejarah
yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga transformasi makna.
Pemahaman tradisi Islam selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai,
karena pemaknaan dan pemahaman selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang
selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman.
(Johan Hendrik Mauleman,
Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang,
2012).
Yang selalu dikhawatirkan orang setiap mendengar penafsiran kembali
ajaran Islam adalah munculnya “bahaya” relativisme dan sekularisme terhadap
ajaran Tuhan yang absolut. Lebih dari itu, tuduhan yang dilontarkan oleh
Pengkritik terhadap upaya pembaruan adalah “menafsirkan Qur’an menurut tuntutan
zaman, padahal semestinya zaman yang dibimbing dan ditafsirkan oleh Qur’an.”
Terhadap kritik semacam ini, pertanyaan yang perlu dijawab antara lain ialah,
bisakah semangat dan isi Qur’an serta tradisi kenabian dipahami tanpa
melibatkan penafsiran, pendapat, dan kecenderungan subjektif penafsirnya? Tentu
saja tidak bisa. Dalam tradisi hermeneutis, terutama metode yang diperkenalkan oleh
Gademer, akan terlihat jelas bahwa dalam pemahaman atas teks, tidak terkecuali
pada Qur’an, unsur subjektivitas penafsiran tidak mungkin disingkirkan. (hlm
45).
0 Komentar