Menurut Mohammed Arkoun, sarjana Muslim menolak
menggunakan metode Ilmiah (Biblical Criticism) karena alasan politis dan
psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum berlaku. Psikologis
karena pandangan Mu’tazilah mengenai kemakhlukan Al-Qur’an di dalam waktu
gagal. Akibat menolak pandangan Mu’tazilah, tulis Mohammed Arkoun, kaum
Muslimin menganggap bahwa semua halaman yang ada di dalam Mushaf adalah kalam
Ilahi. Al-Qur’an yang ditulis dijadikan identik dengan Al-Qur’an yang dibaca,
yang dianggap juga sebagai emanasi langsung dari Lawh al-Mahfudz.
Dalam pandangan Mohammed Arkoun, Mushaf Utsmani
tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak
terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.
Untuk mengubah “tak terfikrkan” (unthinkable) menjadi “terfikirkan”
(thinkabla), Mohammed Arkoun mengusulkan supaya
membudayakan pemikian liberal (free thinking). Menurutnya, pemikiran liberal merupakan tanggapan kepada dua kebutuhan makro. Pertama, Kaum muslimn perlu memikirkan masalah-masalah yang selama ini tidak pernah terfikirkan. Masalah-masalah tersebut dibuat pemikir Muslim ortodoks. Kedua, pemikiran kontemporer perlu membuka wawasan baru, melalui pendekatan sistematis lintas-budaya terhadap masalah-masalah fundamental.
membudayakan pemikian liberal (free thinking). Menurutnya, pemikiran liberal merupakan tanggapan kepada dua kebutuhan makro. Pertama, Kaum muslimn perlu memikirkan masalah-masalah yang selama ini tidak pernah terfikirkan. Masalah-masalah tersebut dibuat pemikir Muslim ortodoks. Kedua, pemikiran kontemporer perlu membuka wawasan baru, melalui pendekatan sistematis lintas-budaya terhadap masalah-masalah fundamental.
Mohammed Arkou mencapai pemikiran liberal dengan
dekontruksi. Baginya, dekontruksi (membongkar) adalah sebuah ijtihad. Tegasnya,
dekontruksi akan memperkaya sejarah pemikiran dan akan mendinamisir pemikiran
Islam kontemporer. Masalah-masalah yang selama ini telah ditekan, ditabukan,
dibatasi, dilarang, dan semua itu diklaim sebagai sebagai kebenaran, jika
didekontruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka. Arkoun
mendekontruksi dengan menggunakan pendekatan historisitas sebagaimana yang
telah digunakan para Hermeneut Barat seperti Giambattista Vico (1668-1744),
J.G. Herder (1744-1803), W. Dilthey (1833-1911), M. Heidegger (1889-1976), J.P.
Sartre (1905-1980), R. Aron, P. Ricocur dan lain-lain.
Mohammed Arkoun sangat menyadari jika pendekatan
historisitas akan menantang segala bentuk pensakralan dan penafsiran transenden
yang dubuat oleh Teolog tradisional. Dalam pandangan Mohammed Arkoun, sekalipun
Muslim ortodoks menganggap pendekatan tersebut sebagai tak terpikirkan, namun
ia justru percaya jika pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik
terhadap Al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah ijtihad, sekalipun dalam
berbagai hal mengguncang cara berfikir konvensional. Pendekatan tersebut adalah
baik karena membongkar lapisan-lapisan konsep Al-Qur’an yang sudah mengendap
lama dalam pandangan geologis kaum Muslim ortodoks yang membeku. Padahal dalam
pandangan Arkoun, konsep Al-Qur’an merupakan hasil pembakuan dan pembekuan
tokoh-tokoh historis yang mengangkat statusnya menjadi kitab suci.
Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua
peringkat. Peringkat pertama adalah apa ang disebut Al-Qur’an sebagai Umm
Al-Kitab. Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gospel, dan
Al-Qur’an. Pada peringkat pertama (Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak
terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun menurut Arkoun,
kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang
seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz dan tetap berada bersama Tuhan sendiri.
Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua.
Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan “edisi dunia”. Menurutnya
pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi.
Mengenai sejarah Al-Qur’an, Arkoun membaginya
menjadi tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M);
periode kedua berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (632-936 M) dan
periode berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan
periode pertama sebagai Prophetic Discourse (diskursus kenabian) dan
periode kedua sebagai Official Closed Corpus (korpus resmi tertutup).
Berdasarkan pada kedua periode tersebut, Arkoun mendifinisikan Al-Qur’an
sebagai “sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa
Arab, dimana kita tidak bisa mengakses melalui teks yang ditetapkan setelah
abad ke 4 H/10 M.
DAFTAR PUSTAKA
Mauleman. J Hendrik, 2012, Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang.
Salim. Fahmi, 2010, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Gema Insani.
0 Komentar